Sabtu, 28 Februari 2009

Effects Of Water To Rice Ratio And Bulk Density On The Thermal Conductivity Of Cooked Rice

Effects Of Water To Rice Ratio And Bulk Density On The Thermal

Conductivity Of Cooked Rice

(Efek Dari Air Pada Rasio Beras Dan Bulk Densiti Terhadap Konduksi Termal Dari Pemasakan Beras)


Nasi diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan kelembabannya (M) yaitu Jinbob dengan kelebaban tinggi, Bob dengan kelembaban sedang, Deanbob dangan kelembaban rendah. Kelembaban dari nasi umumnya ditentukan oleh perbandingan jumlah air dan beras (WR) dalam proses pemasakan. Sifat tekstur dari nasi seperti kelengketan,kelembekan dan kekerasan dipengaruhi oleh banyaknya air.

Sifat termal dari nasi adalah faktor penting dalam pemecahan masalah dalam distribusi dan pemecahan produk. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kelembapan , densitas, temperature merupakan factor utama yang mempengaruhi sifat termal. Umumnya konduktivitas termal dari makanan meningkat seiring dengan densitas kamba dan kelembaban berhubungan dengan densitas kamba dari makanan. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui densitas kamba dan suhu penyimpanan dari nasi pada konduktivitas termal.

MATERIAL DAN METODE

Beras dimasak dengan penanak nasi pada tiga rasio penambahan air (WR) yakni 1.4, 1.5, 1.6. Dasar perbandingan air, tiga jenis nasi didefinisikan sebagai Deunbob (WR=1.4), Bob((WR=1.5), dan jinbob(WR=1.6). Kelembaban dari Deunbob, bob, jinbob adalah 60.4, 62.5 dan 65%.

PENGUKURAN DARI KONDUKTIVITAS TERMAL

Konduktivitas termal ditentukan dengan metode penyelidikan. Pipa stainles steal dengan teflon digunakan untuk sampel wadah. Sumber panas berasal dari tube stainles steal. Wadah sampel kemudian diisi dengan nasi yang berbeda densitas kambanya, yaitu 800,900,1000 kg/m3,dan kemudian sumber panas diinsersikan pada pusat sample. Ukuran konduktivitas termal dikonduksikan pada 30,40,50,60, 70oC. Temperature diukur dengan thermocouple jenis T (diameter0,5mm) dengan hibrid recorder.

HASIL

Konduktitas termal Deanbob bertambah dari 1,267 sampai 0,306 W/mK dengan penambahan temperature dan densitas kamba. Penambahan densitas nasi dari 800 sampai 1000 kg/m3, konduktivitas termal bertambah mencapai 1,5 dari yang densitas kamba rendah. Konduktivitas termal 70oC merupakan suhu tertinggi dalam penyimpanan nasi pada penanak nasi elektrik.

Konduktivitas termal dari Bob,pada umumnya tipe pemasakan nasi,dengan kisaran 0.170o,331W/mK dengan penambahan temperature dan densitas kamba . untuk jimbob kelembaban tinggi sample menunjukkan penambahan dari 0.224 sampai 0.383W/mK,pada kondisi yang sama.

Pada dasarnya hasil dari penelitian ini,densitas adalah factor utama diantara variable yang lain.


Senin, 05 Januari 2009

MOLUSKA

Istilah bioindikator digunakan untuk biota atau organisme berasosiasi yang memiliki respon terhadap asupan polutan melalui perubahan fungsi-fungsi vitalnya atau yang mengakumulasi polutan. Menurut sifatnya, bioindikator digolongkan menjadi dua kelompok:

  1. Indikator akumulatif, yang menyimpan polutan di dalam tubuhnya tanpa ada perubahan nyata dalam sistem biologisnya;
  2. Indikator responsif, yang bereaksi melalui perubahan sel atau gejala-gejala visual kerusakan (pada jaringan, organ, sistem faal) setelah mengalami paparan zat berbahaya dalam jumlah dan kurun waktu tertentu.

Lingkungan pesisir merupakan daerah pertemuan antara sistem terestrial dan oseanik, yang di dalamnya berlangsung interaksi kompleks, rumit, dan dinamis secara fisik, kimia, dan biologi. Dengan demikian, dampak (positif dan) negatif dari kegiatan di darat maupun laut dapat masuk ke lingkungan pesisir. Zat-zat beracun dan logam berbahaya yang berasal dari pencemaran laut maupun kesedimen yang lebih lanjut lagi, akan masuk jejaring makanan melalui remobilisasi oleh akar tanaman dan organisme bentik/pemakan bentik. Di lingkungan pesisir, moluska hidup sebagai hewan bentik (menetap di dasar perairan) yang memakan fitoplankton dan detritus melalui mekanisme penyaringan (filter feeding). Dengan demikian, moluska berperan sebagai mata rantai esensial dalam jejaring makanan lingkungan pesisir karena memiliki dualisme peran ekologis, yaitu sebagai herbivor (yagiatan-kegiatan di darat, seperti persawahan intensif, industri, dan buangan rumah tangga, selanjutnya digolongkan menjadi polutan organik (DDT, PAH, PCB, PCDD, PCDF) dan anorganik (Cd, Cu, Fe, Mn, Pb, Se, Zn). Sebagian besar dari polutan kemudian didepositkan di dalam ng menghubungkan produsen dengan konsumen selanjutnya, bahkan top predator) dan di saat bersamaan sebagai detritivor (memakan detritus). Selain berdasarkan pendekatan jejaring makanan, moluska merupakan indikator biologis yang ideal karena beberapa hal berikut ini:

  • Moluska merupakan organisme yang tersebar luas dalam jumlah melimpah di lingkungan pesisir di seluruh dunia.
  • Moluska, terutama yang hidup di lingkungan pesisir, memiliki rentang distribusi yang luas di dalam dan antar benua. Bahkan ada sejumlah spesies dan genus yang kosmopolitan (misalnyaMytilus M. edulis, M. galloprovincialis), sehingga memungkinkan untuk survei skala geografis (geographical large scale surveys). -
  • Sejumlah spesies moluska merupakan spesies kunci (key species) dari fungsionalitas ekosistem pesisir, sehingga apabila
Selenium is deposited in sediments from reservoirs and irrigated lands and may enter aquatic food chains through deposition in the sediments and then be remobilized by rooted plants and benthic feeders (Lemly 1987). Corbicula fluminea, the Asiatic clam, is a filter feeding benthic bivalve that feeds on phytoplankton and detritus. Such animals may be some of the first to be affected by high levels of Se. Rusk (1991)noted that C. fluminea tissues generally had selenium levels above background along the lower Colorado River. She also noted that C. fluminea was an important food item for carnivorous birds and fish. It would be beneficial to managers if such an organism could be used as a bioindicator of the availability of contaminants to animals at higher trophic levels and of baseline levels within the system. Contaminant levels in bioindicator organisms can be more useful than records of concentrations in water because contaminant levels in biota reflect exposure over time and the magnitude of exposure. They also provide an indication of long-term effects on the ecosystem and possible effects on other taxa. Bioindicators are used to make hazard assessments (analysis of the potential exposure and effects from contaminants at a particular site) and for surveillance (routine monitoring of current and long-term trends in levels of exposure). They also can be used to measure effectiveness of remedial or management actions. Phillips (1977) suggests that indicator organisms for trace elements contamination should:
  1. accumulate the pollutant without suffering mortality, 2. be sedentary,
  2. be sedentary,
  3. have a life span sufficiently long to allow for the sampling of more than one year class,
  4. be abundant in the study region,
  5. be large enough to allow adequate tissue samples for analysis,
  6. be easy to sample and hardy enough to be maintained in the laboratory,
  7. tolerate brackish water,
  8. exhibit a high metal concentration factor,
  9. have a simple correlation between the metal concentration of the organism and the average metal concentration in the surrounding water,
  10. exhibit the same correlation between their metal content and that of the surrounding water for all locations studied under all biotic and abiotic conditions. C. fluminea fits the first seven of these criteria (Cherry et at. 1980, Rodgers et al. 1980, Graney et al. 1983).
C. fluminea also fulfills criteria 8 and 9 for Cd, Cu and possibly Zn (Graney et al. 1983). It fails to satisfy criterion 10 because substrate, pH and temperature effect cadmium uptake (Graney el al. 1984). However, the effects of violating criterion 10 can be minimized by documenting pH, temperature, and substrate at sites of collection. Bivalve mollusks have been used extensively for trace elements assessment (Phillips 1976). Tessier et al. (1984) investigated the relationships between partitioning of trace metals (Pb, Fe, Zn, Cu and Mn) in sediments and their accumulation in the tissues ofthe mollusk Elliptio complanata. Abaychi and Mustafa (1988) found a correlation between metal content in mollusks and metal content in particulate matter. Abaychi and Mustafa (1988) established that C. fluminea is capable of accumulating and eliminating trace elements in relation to their concentration in ambient water and concluded that C. fluminea is a suitable bioindicator for monitoring trace metal pollution. Doherty (1990) concurs that C. fluminea is a valid bioindicator of trace metal contamination and satisfies the criteria established by Phillips (1977). Johns et al. (1988) successfully used C. fluminea as an indicator of selenium distribution in San Francisco Bay.

PUSTAKA: McCaulou T, WJ Matter & OE Maughan. 1994. Corbiculae fluminea as a Bioindicator on The Lower Colorado River. University of Arizona. http://orion.cr.usgs.gov/dec_reports 115/report.html (9 of 42) [10/17/2000 1:17:16 PM]

KEDELAI TERTINGGI DENGAN JUMLAH BUAH TERBANYAK

1.SEJARAH SINGKAT
Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman pertaniankuno berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Buktisejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulaipada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur UttarPradesh India sekitar 100-800 SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asalpadi adalah, Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam.

2.JENIS TANAMAN
Klasifikasi botani tanaman padi adalah sebagai berikut:
Divisi :Spermatophyta
Sub divisi:Angiospermae
Kelas :Monotyledonae
Keluarga :Gramineae (Poaceae)
Genus :Oryza
Spesies :Oryza spp.

Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah O. sativa dengan dua subspesiesyaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padidibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggidan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan.Varitas unggul nasional berasal dari Bogor: Pelita I/1, Pelita I/2, Adil dan Makmur(dataran tinggi), Gemar, Gati, GH 19, GH 34 dan GH 120 (dataran rendah). Varitasunggul introduksi dari International Rice Research Institute (IRRI) Filipina adalahjenis IR atau PB yaitu IR 22, IR 14, IR 46 dan IR 54 (dataran rendah); PB32, PB 34,PB 36 dan PB 48 (dataran rendah).

3.MANFAAT TANAMAN
Beras merupakan makanan sumber karbohidrat yang utama di kebanyakan negaraAsia. Negara-negara lain seperti di benua Eropa, Australia dan Amerikamengkonsumsi beras dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada negara Asia.Selain itu jerami padi dapat digunakan sebagai penutup tanah pada suatu usahatani.

4.SENTRA PENANAMAN
Pusat penanaman padi di Indonesia adalah Pulau Jawa (Karawang, Cianjur), Bali,Madura, Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun 1992 luas panen padimencapai 10.869.000 ha dengan rata-rata hasil 4,35 ton/ha/tahun. Produksi padinasional adalah 47.293.000 ton. Pada tahun itu hampir 22,5 % produksi padinasional dipasok dari Jawa Barat. Dengan adanya krisis ekonomi, sentra padi JawaBarat seperti Karawang dan Cianjur mengalami penurunan produksi yang berarti.Produksi padi nasional sampai Desember 1997 adalah 46.591.874 ton yang meliputiareal panen 9.881.764 ha. Karena pemeliharaan yang kurang intensif, hasil padigogo hanya 1-3 ton/ha, sedangkan dengan kultur teknis yang baik hasil padi sawahmencapai 6-7 ton/ha.

5.SYARAT PERTUMBUHAN
5.1.Iklim
  1. Tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45 derajat LU sampai 45 derajat LSdengan cuacapanas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan.
  2. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun.Padi dapatditanam di musim kemarau atau hujan. Pada musim kemarau produksimeningkat asalkan air irigasi selalu tersedia. Di musim hujan, walaupun air melimpah produksi dapat menurun karenapenyerbukan kurang intensif.
  3. Di dataran rendah padi memerlukan ketinggian 0-650 m dpl dengan temperatur22-27 derajat C sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan temperatur19-23 derajat C.
  4. Tanaman padi memerlukan penyinaram matahari penuh tanpa naungan.
  5. Angin berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan tetapi jika terlalu kencangakan merobohkan tanaman.

5.2.Media Tanam
a)Padi gogo
  1. Padi gogo harus ditanam di lahan yang berhumus, struktur remah dan cukupmengandung air dan udara.
  2. Memerlukan ketebalan tanah 25 cm, tanah yang cocok bervariasi mulai dariyang berliat, berdebu halus, berlempung halus sampai tanah kasar dan air yangtersedia diperlukan cukup banyak. Sebaiknya tanah tidak berbatu, jika adaharus <>
  3. Keasaman tanah bervariasi dari 4,0 sampai 8,0.b)Padi sawah1.Padi sawah ditanam di tanah berlempung yang berat atau tanah yang memilikilapisan keras 30 cm di bawah permukaan tanah.2.Menghendaki tanah lumpur yang subur dengan ketebalan 18-22 cm.3.Keasaman tanah antara pH 4,0-7,0. Pada padi sawah, penggenangan akanmengubah pH tanam menjadi netral (7,0). Pada prinsipnya tanah berkapurdengan pH 8,1-8,2 tidak merusak tanaman padi. Karena mengalamipenggenangan, tanah sawah memiliki lapisan reduksi yang tidak mengandungoksigen dan pH tanah sawah biasanya mendekati netral. Untuk mendapatkantanah sawah yang memenuhi syarat diperlukan pengolahan tanah yang khusus.
b)Padi sawah
  1. Padi sawah ditanam di tanah berlempung yang berat atau tanah yang memilikilapisan keras 30 cm di bawah permukaan tanah.
  2. Menghendaki tanah lumpur yang subur dengan ketebalan 18-22 cm.
  3. Keasaman tanah antara pH 4,0-7,0. Pada padi sawah, penggenangan akanmengubah pH tanam menjadi netral (7,0). Pada prinsipnya tanah berkapurdengan pH 8,1-8,2 tidak merusak tanaman padi. Karena mengalamipenggenangan, tanah sawah memiliki lapisan reduksi yang tidak mengandungoksigen dan pH tanah sawah biasanya mendekati netral. Untuk mendapatkantanah sawah yang memenuhi syarat diperlukan pengolahan tanah yang khusus.
5.3.Ketinggian Tempat
Tanaman dapat tumbuh pada derah mulai dari daratan rendah sampai daratan tinggi.


KEDELAI TERTINGGI DENGAN JUMLAH BUAH TERBANYAK

Pemegang Rekor : PT. Alam Lestari Maju Indonesia

Tanaman kedelai (di dunia sangat besar baik) memiliki ciri : berdaun 3 (trifdiolatus), batang beruas tempat polong buah, bentuknya perdu, batang dan buah diselimuti bulu halus, memiliki bintil akar yang kaya nitrogen (N2), buah berbentuk polong, biji berwarna kuning, coklat atau hijau yang kaya akan protein dan gula.

Pada umumnya tanaman ini di Indonesia memiliki tinggi rata-rata 50-75 cm dan maksimal tidak lebih dari 100 cm dengan polong pertamanan berkisar antara 20-70 buah dengan berat 11-18 gr per 100 biji.

Penemuan revolusioner spektakuler ini oleh penemunya bernama Ali Zum Mushar yang disebut teknologi “BIO PERFORASI” yang dikenal dengan teknologi Hayati Bio P2000Z. Dengan ditemukannya pupuk ini mampu menghasilkan pohon kedelai setinggi 3,8 meter dengan jumlah buah terbanyak 2300 polong.

Penyerahan piagam berlangsung di Puspitek Serpong – Tangerang pada tanggal 11 Agustus 2004.
(Sumber: MURI)

Selasa, 02 Desember 2008

Budidaya Udang Vannamei Pola Tradisional Plus

Laporan: Wahyu Safitri / Editor: Eko J. Saputra

BANDARLAMPUNG-Udang Vannamei (Lipotenaeus Vannamei) merupakan salah satu jenis udang introduksi yang akhir-akhir ini banyak dimintai. Karena memiliki keunggulan seperti tahan penyakit, pertumbuhnannya cepat sintasan selama pemeliharaan tinggi dan nilai konversi pakan rendah. Namun pembudidayaan udang yang modalnya terbatas masih menganggap bahwa udang Vannamei hanya dapat dibudidayakan secara intensif. Anggapan tersebut ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena hasil kajian menunjukkan bahwa udang jenis ini juga dapat diproduksi dengan pola tradisional.

Dan inilah yang dikenalkan di anjungan Pesawaran dalam Pameran Pembangunan 2008 ini. Dijelaskan Humas Anjungan Pesawaran Iman Saputra kalau pembudidayaan yang dilakukan secara tradisional petambak dapat menghasilkan ukuran panen yang lebih besar sehingga harga per kilo gramnya menjadi lebih mahal. “Teknologi yang tersedia saat ini masih untuk pola intensif dan semiintensif, padahal luas areal pertambakan di Indonesia yang mencapai 360.000 ha , 80 persen digarap oleh petambak yang kurang mampu,” kata Imam kepada Rakyat Lampung, kemarin.

Informasi terkhnologi pola tradisional plus untuk budi daya udang Vannamei sampai saat ini masih terbatas. Diharapkan dengan adanya penjelasan di anjungan Pesawaran ini dapat menambah wawasan pengguna dalam mengembangkan budi daya udang Vannamei pola tradisional plus. Tahap pertama proses pengeringan atau pengelolaan tanah dasar, kedua pemberantasan hama, ketiga pengapuran dan pemupukan dan yang keempat pengisian air. Baru dilanjutkan dengan penebaran benih, pemeliharaan dan panennya yang pasti ditunggu penambak. “Untuk panen harus mempertimbangkan aspek harga, pertumbuhan dan kesehatan udang. Panen dilakukan setelah umur pemeliharaan 100-110 hari. Perlakuan sebelum panen adalah pemberian kapur dolomite dan yang tak kalah penting mempertahankan ketinggian air,” tambahnya. (*)

BUDIDAYA UDANG WINDU

I. Pendahuluan
Budidaya udang windu di Indonesia dimulai pada awal tahun 1980-an, dan mencapai puncak produksi pada tahun 1985-1995. Sehingga pada kurun waktu tersebut udang windu merupakan penghasil devisa terbesar pada produk perikanan. Selepas tahun 1995 produksi udang windu mulai mengalami penurunan. Hal itu disebabkan oleh penurunan mutu lingkungan dan serangan penyakit. Melihat kondisi tersebut, PT. NATURAL NUSANTARA merasa terpanggil untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut dengan produk-produk yang berprinsip kepada Kualitas, Kuantitas dan Kelestarian (K-3).

II. Teknis Budidaya
Budidaya udang windu meliputi beberapa faktor, yaitu :
2.1. Syarat Teknis
- Lokasi yang cocok untuk tambak udang yaitu pada daerah pantai yang mempunyai tanah bertekstur liat atau liat berpasir yang mudah dipadatkan sehingga mampu menahan air dan tidak mudah pecah.
- Air yang baik yaitu air payau dengan salinitas 0-33 ppt dengan suhu optimal 26 - 300C dan bebas dari pencemaran bahan kimia berbahaya.
- Mempunyai saluran air masuk/inlet dan saluran air keluar/outlet yang terpisah.
- Mudah mendapatkan sarana produksi yaitu benur, pakan, pupuk , obat-obatan dan lain-lain.
- Pada tambak yang intensif harus tersedia aliran listrik dari PLN atau mempunyai Generator sendiri.

2.2. Tipe Budidaya.
Berdasarkan letak, biaya dan operasi pelaksanaannya, tipe budidaya dibedakan menjadi :
- Tambak Ekstensif atau tradisional.
Petakan tambak biasanya di lahan pasang surut yang umumnya berupa rawa bakau. Ukuran dan bentuk petakan tidak teratur, belum meggunakan pupuk dan obat-obatan dan program pakan tidak teratur.
- Tambak Semi Intensif.
Lokasi tambak sudah pada daerah terbuka, bentuk petakan teratur tetapi masih berupa petakan yang luas (1-3 ha/petakan), padat penebaran masih rendah, penggunaan pakan buatan masih sedikit.
- Tambak Intensif.
Lokasi di daerah yang khusus untuk tambak dalam wilayah yang luas, ukuran petakan dibuat kecil untuk efisiensi pengelolaan air dan pengawasan udang, padat tebar tinggi, sudah menggunakan kincir, serta program pakan yang baik.

2.3. Benur
. Benur yang baik mempunyai tingkat kehidupan (Survival Rate/SR) yang tinggi, daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang tinggi, berwarna tegas/tidak pucat baik hitam maupun merah, aktif bergerak, sehat dan mempunyai alat tubuh yang lengkap. Uji kualitas benur dapat dilakukan secara sederhana, yaitu letakkan sejumlah benur dalam wadah panci atau baskom yang diberi air, aduk air dengan cukup kencang selama 1-3 menit. Benur yang baik dan sehat akan tahan terhadap adukan tersebut dengan berenang melawan arus putaran air, dan setelah arus berhenti, benur tetap aktif bergerak.

2.4. Pengolahan Lahan
Pengolahan lahan, meliputi :
- Pengangkatan lumpur. Setiap budidaya pasti meninggalkan sisa budidaya yang berupa lumpur organik dari sisa pakan, kotoran udang dan dari udang yang mati. Kotoran tersebut harus dikeluarkan karena bersifat racun yang membahayakan udang. Pengeluaran lumpur dapat dilakukan dengan cara mekanis menggunakan cangkul atau penyedotan dengan pompa air/alkon.
- Pembalikan Tanah. Tanah di dasar tambak perlu dibalik dengan cara dibajak atau dicangkul untuk membebaskan gas-gas beracun (H2S dan Amoniak) yang terikat pada pertikel tanah, untuk menggemburkan tanah dan membunuh bibit panyakit karena terkena sinar matahari/ultra violet.
- Pengapuran. Bertujuan untuk menetralkan keasaman tanah dan membunuh bibit-bibit penyakit. Dilakukan dengan kapur Zeolit dan Dolomit dengan dosis masing-masing 1 ton/ha.
- Pengeringan. Setelah tanah dikapur, biarkan hingga tanah menjadi kering dan pecah-pecah, untuk membunuh bibit penyakit.
- Perlakuan pupuk TON ( Tambak Organik Nusantara ). Untuk mengembalikan kesuburan lahan serta mempercepat pertumbuhan pakan alami/plankton dan menetralkan senyawa beracun, lahan perlu diberi perlakuan TON dengan dosis 5 botol/ha untuk tambak yang masih baik atau masih baru dan 10 botol TON untuk areal tambak yang sudah rusak. Caranya masukkan sejumlah TON ke dalam air, kemudian aduk hingga larut. Siramkan secara merata ke seluruh areal lahan tambak.

2.5. Pemasukan Air
Setelah dibiarkan 3 hari, air dimasukkan ke tambak. Pemasukan air yang pertama setinggi 10-25 cm dan biarkan beberapa hari, untuk memberi kesempatan bibit-bibit plankton tumbuh setelah dipupuk dengan TON. Setelah itu air dimasukkan hingga minimal 80 cm. Perlakuan Saponen bisa dilakukan untuk membunuh ikan yang masuk ke tambak. Untuk menyuburkan plankton sebelum benur ditebar, air dikapur dengan Dolomit atau Zeolit dengan dosis 600 kg/ha.


2.6. Penebaran Benur.
Tebar benur dilakukan setelah air jadi, yaitu setelah plankton tumbuh yang ditandai dengan kecerahan air kurang lebih 30-40 cm. Penebaran benur dilakukan dengan hati-hati, karena benur masih lemah dan mudah stress pada lingkungan yang baru. Tahap penebaran benur adalah :
- Adaptasi suhu. Plastik wadah benur direndam selama 15 30 menit, agar terjadi penyesuaian suhu antara air di kolam dan di dalam plastik.
- Adaptasi udara. Plastik dibuka dan dilipat pada bagian ujungnya. Biarkan terbuka dan terapung selama 15 30 menit agar terjadi pertukaran udara dari udara bebas dengan udara dalam air di plastik.
- Adaptasi kadar garam/salinitas. Dilakukan dengan cara memercikkan air tambak ke dalam plastik selama 10 menit. Tujuannya agar terjadi percampuran air yang berbeda salinitasnya, sehingga benur dapat menyesuaikan dengan salinitas air tambak.
- Pengeluaran benur. Dilakukan dengan memasukkan sebagian ujung plastik ke air tambak. Biarkan benur keluar sendiri ke air tambak. Sisa benur yang tidak keluar sendiri, dapat dimasukkan ke tambak dengan hati-hati/perlahan.

2.7. Pemeliharaan.
Pada awal budidaya, sebaiknya di daerah penebaran benur disekat dengan waring atau hapa, untuk memudahkan pemberian pakan. Sekat tersebut dapat diperluas sesuai dengan perkembangan udang, setelah 1 minggu sekat dapat dibuka. Pada bulan pertama yang diperhatikan kualitas air harus selalu stabil. Penambahan atau pergantian air dilakukan dengan hati-hati karena udang masih rentan terhadap perubahan kondisi air yang drastis. Untuk menjaga kestabilan air, setiap penambahan air baru diberi perlakuan TON dengan dosis 1 - 2 botol TON/ha untuk menumbuhkan dan menyuburkan plankton serta menetralkan bahan-bahan beracun dari luar tambak.
Mulai umur 30 hari dilakukan sampling untuk mengetahui pekembanghan udang melalui pertambahan berat udang. Udang yang normal pada umur 30 hari sudah mencapai size (jumlah udang/kg) 250-300. Untuk selanjutnya sampling dilakukan tiap 7-10 hari sekali. Produksi bahan organik terlarut yang berasa dari kotoran dan sisa pakan sudah cukup tinggi, oleh karena itu sebaiknya air diberi perlakuan kapur Zeolit setiap beberapa hari sekali dengan dosis 400 kg/ha. Pada setiap pergantian atau penambahan air baru tetap diberi perlakuan TON.
Mulai umur 60 hari ke atas, yang harus diperhatikan adalah manajemen kualitas air dan kontrol terhadap kondisi udang. Setiap menunjukkkan kondisi air yang jelek (ditandai dengan warna keruh, kecerahan rendah) secepatnya dilakukan pergantian air dan perlakuan TON 1-2 botol/ha. Jika konsentrasi bahan organik dalam tambak yang semakin tinggi, menyebabkan kualitas air/lingkungan hidup udang juga semakin menurun, akibatnya udang mudah mengalami stres, yang ditandai dengan tidak mau makan, kotor dan diam di sudut-sudut tambak, yang dapat menyebabkan terjadinya kanibalisme.

2.8. Panen.
Udang dipanen disebabkan karena tercapainya bobot panen (panen normal) dan karena terserang penyakit (panen emergency). Panen normal biasanya dilakukan pada umur kurang lebih 120 hari, dengan size normal rata-rata 40 - 50. Sedang panen emergency dilakukan jika udang terserang penyakit yang ganas dalam skala luas (misalnya SEMBV/bintik putih). Karena jika tidak segera dipanen, udang akan habis/mati.
Udang yang dipanen dengan syarat mutu yang baik adalah yang berukuran besar, kulit keras, bersih, licin, bersinar, alat tubuh lengkap, masih hidup dan segar. Penangkapan udang pada saat panen dapat dilakukan dengan jala tebar atau jala tarik dan diambil dengan tangan. Saat panen yang baik yaitu malam atau dini hari, agar udang tidak terkena panas sinar matahari sehingga udang yang sudah mati tidak cepat menjadi merah/rusak.

III. Pakan Udang.
Pakan udang ada dua macam, yaitu pakan alami yang terdiri dari plankton, siput-siput kecil, cacing kecil, anak serangga dan detritus (sisa hewan dan tumbuhan yang membusuk). Pakan yang lain adalah pakan buatan berupa pelet. Pada budidaya yang semi intensif apalagi intensif, pakan buatan sangat diperlukan. Karena dengan padat penebaran yang tinggi, pakan alami yang ada tidak akan cukup yang mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat dan akan timbul sifat kanibalisme udang.
Pelet udang dibedakan dengan penomoran yang berbeda sesuai dengan pertumbuhan udang yang normal.
a. Umur 1-10 hari pakan 01
b. Umur 11-15 hari campuran 01 dengan 02
c. Umur 16-30 hari pakan 02
d. Umur 30-35 campuran 02 dengan 03
e. Umur 36-50 hari pakan 03
f. Umur 51-55 campuran 03 dengan 04 atau 04S
(jika memakai 04S, diberikan hingga umur 70 hari).
g. Umur 55 hingga panen pakan 04, jika pada umur 85 hari size rata-rata mencapai 50, digunakan pakan 05 hingga panen.
Kebutuhan pakan awal untuk setiap 100.000 ekor adalah 1 kg, selanjutnya tiap 7 hari sekali ditambah 1 kg hingga umur 30 hari. Mulai umur tersebut dilakukan cek ancho dengan jumlah pakan di ancho 10% dari pakan yang diberikan. Waktu angkat ancho untuk size 1000-166 adalah 3 jam, size 166-66 adalah 2,5 jam, size 66-40 adalah 2,5 jam dan kurang dari 40 adalah 1,5 jam dari pemberian.
Untuk meningkatkan pertumbuhan udang, perlu penambahan nutrisi lengkap dalam pakan. Untuk itu, pakan harus dicampur dengan POC NASA yang mengandung mineral-mineral penting, protein, lemak dan vitamin dengan dosis 5 cc/kg pakan untuk umur dibwah 60 hari dan setelah itu 10 cc/kg pakan hingga panen.

IV. Penyakit.
Beberapa penyakit yang sering menyerang udang adalah ;
1. Bintik Putih. Penyakit inilah yang menjadi penyebab sebagian besar kegagalan budidaya udang. Disebabkan oleh infeksi virus SEMBV (Systemic Ectodermal Mesodermal Baculo Virus). Serangannya sangat cepat, dalam beberapa jam saja seluruh populasi udang dalam satu kolam dapat mati. Gejalanya : jika udang masih hidup, berenang tidak teratur di permukaan dan jika menabrak tanggul langsung mati, adanya bintik putih di cangkang (Carapace), sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Virus dapat berkembang biak dan menyebar lewat inang, yaitu kepiting dan udang liar, terutama udang putih. Belum ada obat untuk penyakit ini, cara mengatasinya adalah dengan diusahakan agar tidak ada kepiting dan udang-udang liar masuk ke kolam budidaya. Kestabilan ekosistem tambak juga harus dijaga agar udang tidak stress dan daya tahan tinggi. Sehingga walaupun telah terinfeksi virus, udang tetap mampu hidup sampai cukup besar untuk dipanen. Untuk menjaga kestabilan ekosistem tambak tersebut tambak perlu dipupuk dengan TON.

2. Bintik Hitam/Black Spot. Disebabkan oleh virus Monodon Baculo Virus (MBV). Tanda yang nampak yaitu terdapat bintik-bintik hitam di cangkang dan biasanya diikuti dengan infeksi bakteri, sehingga gejala lain yang tampak yaitu adanya kerusakan alat tubuh udang. Cara mencegah : dengan selalu menjaga kualitas air dan kebersihan dasar tambak.

3. Kotoran Putih/mencret. Disebabkan oleh tingginya konsentrasi kotoran dan gas amoniak dalam tambak. Gejala : mudah dilihat, yaitu adanya kotoran putih di daerah pojok tambak (sesuai arah angin), juga diikuti dengan penurunan nafsu makan sehingga dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kematian. Cara mencegah : jaga kualitas air dan dilakukan pengeluaran kotoran dasar tambak/siphon secara rutin.

4. Insang Merah. Ditandai dengan terbentuknya warna merah pada insang. Disebabkan tingginya keasaman air tambak, sehingga cara mengatasinya dengan penebaran kapur pada kolam budidaya. Pengolahan lahan juga harus ditingkatkan kualitasnya.

5. Nekrosis. Disebabkan oleh tingginya konsentrasi bakteri dalam air tambak. Gejala yang nampak yaitu adanya kerusakan/luka yang berwarna hitam pada alat tubuh, terutama pada ekor. Cara mengatasinya adalah dengan penggantian air sebanyak-banyaknya ditambah perlakuan TON 1-2 botol/ha, sedangkan pada udang dirangsang untuk segera melakukan ganti kulit (Molting) dengan pemberian saponen atau dengan pengapuran.
Penyakit pada udang sebagian besar disebabkan oleh penurunan kualitas kolam budidaya. Oleh karena itu perlakuan TON sangat diperlukan baik pada saat pengolahan lahan maupun saat pemasukan air baru.

PEMBENIHAN IKAN BANDENG

1. PENDAHULUAN

Benih bandeng (nener) merupakan salah satu sarana produksi yang utama dalam usaha budidaya bandeng di tambak. Perkembangan Teknologi budidaya bandeng di tambakdirasakan sangat lambat dibandingkan dengan usaha budidaya udang. Faktor ketersediaan benih merupakan salah satu kendala dalam menigkatkan teknologi budidaya bandeng. Selama ini produksi nener alam belum mampu untuk mencukupi kebutuhan budidaya bandeng yang terus berkembang, oleh karena itu peranan usaha pembenihan bandeng dalam upaya untuk mengatasi masalah kekurangan nener tersebut menjadi sangat penting. Tanpa mengabaikan arti penting dalam pelestarian alam, pengembangan wilayah, penyediian dukungan terhadap pembangunan perikanan khususnya dan pembangunan nasional umumnya, kegiatan pembenihan bandeng di hatchery harus diarahkan untuk tidak menjadi penyaing bagi kegiatan penangkapan nener di alam. Diharapkan produksi benih nener di hatchery diarahkan untuk mengimbangi selisih antara permintaan yang terus meningkat dan pasok penangkapan di alam yang diduga akan menurun.

2. PENGERTIAN

Teknologi produksi benih di hatchery telah tersedia dan dapat diterapkan baik dalam suatu Hatchery Lengkap (HL) maupun Hatchery Sepenggal (HS) seperti Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT). Produksi nener di hatchery sepenggal dapat diandalkan. Karenaresiko kecil, biaya rendah dan hasil memadai. Hatchery sepenggal sangat cocok dikembangkan di daerah miskin sebagai salah satu upaya penaggulangan kemiskinan bila dikaitkan dalam pola bapak angkat dengan hatchery lengkap (HL). Dilain pihak, hatchery lengkap (HL) dapat diandalkan sebagai produsen benih bandeng (nener) yang bermutu serta tepat musim, jumlah dan harga. Usaha pembenihan bandeng di hatchery dapat mengarahkan kegiatan budidaya menjadi kegiatan yang mapan dan tidak terlalu dipengaruhi kondisi alam serta tidak memanfaatkan sumber daya secara berlebihan. Dalam siklusnya yang utuh, kegiatan budidaya bandeng yang mengandalkan benih hatchery bahkan dapat mendukung kegiatan pelestarian sumberdaya baik melalui penurunan terhadap penyian-nyian sumber daya benih species lain yang biasa terjadi pada penangkapan nener di alam maupun melalui penebaran di perairan pantai (restocking). Disisi lain, perkembangan hatchery bandeng di kawasan pantai dapat dijadikan titk tumbuh kegiatan ekonomi dalam rangka pengembangan wilayah dan penyerapan tenaga kerja yang mengarah pada pembangunan berwawasan lingkungan. Pada giliranya, tenaga yang terserap di hatchery itu sendiri selain berlaku sebagai produsen juga berlaku sebagai kondumen bagi kebutuhan kegiatan sehari-hari yang dapat mendorong kegiatan ekonomi masyarakat sekitar hatchery.

3. PERSYARATAN LOKASI

Pemilihan tempat perbenihan bandeng harus mempertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan lokasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam persyaratan lokasi adalah sebagai berikut.

  1. Status tanah dalam kaitan dengan peraturan daerah dan jelas sebelum hatchery dibangun.
  2. Mampu menjamin ketrsediaan air dan pengairan yang memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan;
    • Pergantian air minimal; 200 % per hari.
    • Suhu air, 26,5-31,0 0 C.
    • PH; 6,5-8,5.
    • Oksigen larut; 3,0-8,5 ppm.
    • Alkalinitas 50-500ppm.
    • Kecerahan 20-40 cm (cahaya matahari sampai ke dasar pelataran).
    • Air terhindar dari polusi baik polusi bahan organik maupun an organik.
  3. Sifat-sifat perairan pantai dalam kaitan dengan pasang surut dan pasang arus perlu diketahui secara rinci.
  4. Faktor-faktor biologis seperti kesuburan perairan, rantai makanan, speciesdominan, keberadaan predator dan kompretitor, serta penyakit endemik harus diperhatikan karena mampu mengakibatkan kegagalan proses produksi.

4. SARANA DAN PRASARANA

  1. Sarana Pokok
    Fasilitas pokok yang dimanfaatkan secara langsung untuk kegiatan produksi adalah bak penampungan air tawar dan air laut, laboratorium basah, bak pemeliharaa larva, bak pemeliharaan induk dan inkubasi telur serta bak pakan alami.
    1. Bak Penampungan Air Tawar dan Air Laut.
      Bak penampungan air (reservoir) dibangun pada ketinggian sedemikian rupa sehingga air dapat didistribusikan secara gravitasi ke dalam bak-bak dan sarana lainnya yang memerlukan air (laut, tawar bersih). Sistim pipa pemasukkan dan pembuangan air perlu dibangun pada bak pemelihara induk, pemeliharaan larva, pemeliharan pakan alami, laboratorium kering dan basah serta saran lain yang memerlukan air tawar dan air laut serta udara (aerator). Laboratorium basah sebaiknya dibangun berdekatan dengan bangunan pemeliharaan larva dan banguna kultur murni plankton serta diatur
      menghadap ke kultur masal plankton dan dilengkapi dengan sistim pemipaan air tawar, air laut dan udara.
    2. Bak Pemeliharaan Induk
      Bak pemeliharaan induk berbentuk empat persegi panjang atau bulat dengan kedalaman lebih dari 1 meter yang sudut-sudutnya dibuat lengkung dan dapat diletakkan di luar ruangan langsung menerima cahaya tanpa dinding.
    3. Bak Pemeliharan Telur
      Bak perawatan telur terbuat dari akuarium kaca atau serat kaca dengan daya tampung lebih dari 2.000.000 butir telur pada kepadatan 10.000 butir per liter.
    4. Bak Pemeliharaan Larva
      Bak pemeliharaan larva yang berfungsi juga sebagai bak penetasan telur dapat terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton, sebaiknya berwarna agak gelap, berukuran (4x5x1,5) m3 dengan volume 1-10 ton berbentuk bulat atau bujur sangkar yang sudut-sudutnya dibuat lengkung dan diletakkan di dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding balik. Untuk mengatasi penurunan suhu air pada malam hari, bak larva diberi penutup berupa terval plastik untuk menyangga atap plastik, dapat digunakan bentangan kayu/bambu.
      Gambar 1. Bak Pemeliharaan Larva
    5. Bak Pemeliharaan Makanan Alami, Kultur Plankton Chlorella sp dan Rotifera.
      Bak kultur plankton chlorella sp disesuaikan dengan volume bak pemeliharaan larva yang terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton ditempatkan di luar ruangan yang dapat langsung mendapat cahaya matahari. Bak perlu ditutup dengan plastik transparan pada bagian atasnya agar cahaya juga bisa masuk ke dalam bak untuk melindungi dari pengaruh air hujan. Kedalamam bak kultur chlorella sp harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga penetrasi cahaya matahari dapat dijamin mencapai dasar tangki. Kedalaman air dalam tangki disarankan tidak melebihi 1 meter atau 0,6 m, ukuran bak kultur plankton chlorella sp adalah (20 x 25 x 0,6)m 3 . Bak kultur rotifera terbuat dari serat kaca maupun konstruksi baton yang ditempatkan dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding. Perbandingan antara volume bak chlorella, rotifera dan larva sebaliknya 5:5:1.
  2. Sarana Penunjang Untuk menunjang perbenihan sarana yang diperlukan adalah laboratorium pakan alami, ruang pompa,air blower, ruang packking, ruang genset, bengkel, kendaraan roda dua dan roda empat serta gudang (ruang pentimpanan barang-barang opersional) harus tersedia sesuai kebutuhan dan memenuhi persyaratan dan ditata untuk menjamin kemudahan serta keselamatan kerja.
    1. Laboratorium pakan alami seperti laboratorium fytoplankton berguna sebagai tempat kultur murni plankton yang ditempatkan pada lokasi dekat hatchery yang memerlukan ruangan suhu rendah yakni 22~25 0 C.
    2. Laboratorium kering termasuk laboratorium kimia/mikrobialogi, sebaiknya dibangun berdekatan dengan bak pemeliharaan larva berguna sebagai bangunan stok kultur dan penyimpanan plankton dengan suhu sekitar 22~25 0 C serta dalam ruangan. Untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemasaran hasil dilengkapi dengan fasilitas ruang pengepakan yang dilengpaki dengan sistimpemipaan air tawar dan air laut, udara serta sarana lainnya seperti peti kedap air, kardus, bak plastik, karet dan oksigen murni. Alat angkut roda dua dan empat yang berfungsi untuk memperlancar pekerjaan dan pengangkutan hasil benih harus tersedia tetap dalam keadaan baik dan siap pakai. Untuk pembangkit tenaga listrik atau penyimpanan peralatan dilengkapi dengan pasilitas ruang genset dan bengkel, ruang pompa air dan blower, ruang pendingin dan gudang.
  3. Sarana Pelengkap
    Sarana pelengkap dalam kegiatan perbenihan terdiri dari ruang kantor, perpustakaan, alat tulis menulis, mesin ketik, komputer, ruang serbaguna, ruang makan, ruang pertemuan, tempat tinggal staf dan karyawan.

5. TEKNIK PEMELIHARAN

  1. Persiapan Opersional.
    1. Sarana yang digunakan memenuhi persyaratan higienis, siap dipakai dan bebas cemaran. Bak-bak sebelum digunakan dibersihkan atau dicuci dengan sabun detergen dan disikat lalu dikeringkan 2-3 hari. Pembersihan bak dapat juga dilakukan dengan cara membasuh bagian dalam bak kain yang dicelupkan ke dalam chlorine 150 ppm (150 mil larutan chlorine 10% dalam 1 m 3 air) dan didiamkan selama 1~2 jam dan dinetralisir dengan larutan Natrium thiosulfat dengan dosis 40 ppm atau desinfektan lain yi formalin 50 ppm. Menyiapkan suku cadang seperti pompa, genset dan blower untuk mengantisipasi kerusakan pada saat proses produksi.
    2. Menyiapkan bahan makanan induk dan larva pupuk fytoplankton, bahan kimia yang tersedia cukup sesuai jumlah dan persyaratan mutu untuk tiap tahap pembenihan.
    3. Menyiapkan tenaga pembenihan yang terampil, disiplin dan berpengalaman dan mampu menguasai bidang kerjanya.
  2. Pengadaan Induk.
    1. Umur induk antara 4~5 tahun yang beratnya lebih dari 4 kg/ekor.
    2. Pengangkutan induk jarak jauh menggunakan bak plastik. Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi air bersalinitas rendah (10~15)ppt, serta suhu 24~25 0 C. Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi air barsalinitas rendah (10~15) ppt, serta suhu 24~25 0 C.
    3. Kepadatan induk selama pengangkutan lebih dari 18 jam, 5~7 kg/m3 air. Kedalaman air dalam bak sekitar 50 cm dan permukaan bak ditutup untuk mereduksi penetrasi cahaya dan panas.
    4. Aklimatisasi dengan salinitas sama dengan pada saat pengangkutan atau sampai selaput mata yang tadinya keruh menjadi bening kembali. Setelah selesai aklimatisasi salinitas segera dinaikan dengan cara mengalirkan air laut dan mematikan pasok air tawar.
  3. Pemeliharaan Induk
    1. Induk berbobot 4~6 kg/ekor dipelihara pada kepadatan satu ekor per 2~4 m 3 dalam bak berbentuk bundar yang dilengkapi aerasi sampai kedalaman 2 meter.
    2. Pergantian air 150 % per hari dan sisa makanan disiphon setiap 3 hari sekali. Ukuran bak induk lebih besar dari 30 ton.
    3. Pemberian pakan dengan kandungan protein sekitar 35 % dan lemak 6~8 % diberikan 2~3 % dari bobot bio per hari diberikan 2 kali per hari yaitu pagi dan masa sore.
    4. Salinitas 30~35 ppt, oksigen terlarut . 5 ppm, amoniak < 0,01 ppm, asam belerang < 0,001 ppm, nirit < 1,0 ppm, pH; 7~85 suhu 27~33 0 C.
  4. Pemilihan Induk
    1. Berat induk lebih dari 5 kg atau panjang antara 55~60 cm, bersisik bersih, cerah dan tidak banyak terkelupas serta mampu berenang cepat.
    2. Pemeriksaan jenis kelamin dilakukan dengan cara mem-bius ikan dengan 2 phenoxyethanol dosis 200~300 ppm. Setelah ikan melemah kanula dimasukan ke-lubang kelamin sedalam 20~40 cm tergantung dari panjang ikan dan dihisap. Pemijahan (striping) dapat juga dilakukan terutama untuk induk jantan.
    3. Diameter telur yang diperoleh melalui kanulasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad. Induk yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron sudah siap untuk dipijahkan.
    4. Induk jantan yang siap dipijahkan adalah yang mengandung sperma tingkat III yaitu pejantan yang mengeluarkan sperma cupuk banyak sewaktu dipijat dari bagian perut kearah lubang kelamin.
  5. Pematangan Gonad
    1. Hormon dari luar dapat dilibatkan dalam proses metabolisme yang berkaitan dengan kegiatan reproduksi dengan cara penyuntikan dan implantasi menggunakan implanter khusus. Jenis hormon yang lazim digunakan untuk mengacu pematangan gonad dan pemijahan bandeng LHRH –a, 17 alpha methiltestoteron dan HCG.
    2. Implantasi pelet hormon dilakukan setiap bulan pada pagi hari saat pemantauan perkembangan gonad induk jantan maupun betina dilakukan LHRH-a dan 17 alpha methiltestoteren masing-masing dengan dosis 100~200 mikron per ekor (berat induk 3,5 sampai 7 kg).
  6. Pemijahan Alami.
    1. Ukuran bak induk 30-100 ton dengan kedalaman 1,5-3,0 meter berbentuk bulat dilengkapi aerasi kuat menggunakan “diffuser” sampai dasar bak serta ditutup dengan jaring.
    2. Pergantian air minimal 150 % setiap hari.
    3. Kepadatan tidak lebih dari satu induk per 2-4 m3 air.
    4. Pemijahan umumnya pada malam hari. Induk jantan mengeluarkan sperma dan induk betina mengeluarkan telur sehingga fertilisasi terjadi secara eksternal.
  7. Pemijahan Buatan.
    1. Pemijahan buatan dilakukan melalui rangsangan hormonal. Hormon berbentuk cair diberikan pada saat induk jantan dan betina sudah matang gonad sedang hormon berbentuk padat diberikan setiap bulan (implantasi).
    2. Induk bandeng akan memijah setelah 2-15 kali implantasi tergantung dari tingkat kematangan gonad. Hormonyang digunakan untuk implantasi biasanya LHRH –a dan 17 alpha methyltestoterone pada dosis masing-masing 100-200 mikron per ekor induk (> 4 Kg beratnya).
    3. Pemijahan induk betina yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron atau induk jantan yang mengandung sperma tingkat tiga dapat dipercepat dengan penyuntikan hormon LHRH- a pada dosis 5.000-10.000IU per Kg berat tubuh.
    4. Volume bak 10-20 kedalaman 1,5-3,0 meter berbentuk bulat terbuat dari serat kaca atau beton ditutup dengan jaring dihindarkan dari kilasan cahaya pada malam hari untuk mencegah induk meloncat keluar tangki.
  8. Penanganan Telur.
    1. Telur ikan bandeng yang dibuahi berwarna transparan, mengapung pada salinitas > 30 ppt, sedang tidak dibuahi akan tenggelam dan berwarna putih keruh.
    2. Selama inkubasi, telur harus diaerasi yang cukup hingga telur pada tingkat embrio. Sesaat sebelum telur dipindahkan aerasi dihentikan. Selanjutnya telur yang mengapung dipindahkan secara hati-hati ke dalam bak penetasan/perawatan larva. Kepadatan telur yang ideal dalam bak penetasan antara 20-30 butir per liter.
    3. Masa kritis telur terjadi antara 4-8 jam setelah pembuahan. Dalam keadaan tersebut penanganan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindarkan benturan antar telur yang dapat mengakibatkan menurunnya daya tetas telur. Pengangkatan telur pada fase ini belum bisa dilakukan.
    4. Setelah telur dipanen dilakukan desinfeksi telur yang menggunakan larutan formalin 40 % selama 10-15 menit untuk menghindarkan telur dari bakteri, penyakit dan parasit.
  9. Pemeliharaan Larva.
    1. Air media pemeliharaan larva yang bebas dari pencemaran, suhu 27-31 0 C salinitas 30 ppt, pH 8 dan oksigen 5-7 ppm diisikan kedalam bak tidak kurang dari 100 cm yang sudah dipersiapkan dan dilengkapi sistem aerasi dan batu aerasi dipasang dengan jarak antara 100 cm batu aerasi.
    2. Larva umur 0-2 hari kebutuhan makananya masih dipenuhi oleh kuning telur sebagai cadangan makanannya. Setelah hari kedua setelah ditetaskan diberi pakan alami yaitu chlorella dan rotifera. Masa pemeliharaan berlangsung 21-25 hari saat larva sudah berubah menjadi nener.
    3. Pada hari ke nol telur-telur yang tidak menetes, cangkang telur larva yang baru menetas perlu disiphon sampai hari ke 8-10 larva dipelihara pada kondisi air stagnan dan setelah hari ke 10 dilakukan pergantian air 10% meningkat secara bertahap sampai 100% menjelang panen.
    4. Masa kritis dalam pemeliharaan larva biasanya terjadi mulai hari ke 3-4 sampai ke 7-8. Untuk mengurangi jumlah kematian larva, jumlah pakan yang diberikan dan kualitas air pemeluharan perlu terus dipertahankan pada kisaran optimal.
    5. Nener yang tumbuh normal dan sehat umumnya berukuran panjang 12-16 mm dan berat 0,006-0,012 gram dapat dipelihara sampai umur 25 hari saat penampakan morfologisnya sudah menyamai bandeng dewasa.
  10. Pemberian Makanan Alami
    1. Menjelang umur 2-3 hari atau 60-72 jam setelah menetas, larva sudah harus diberi rotifera (Brachionus plicatilis) sebagai makanan sedang air media diperkaya chlorella sp sebagai makanan rotifera dan pengurai metabolit.
    2. Kepadatan rotifera pada awal pemberian 5-10 ind/ml dan meningkat jumlahnya sampai 15-20 ind/ml mulai umur larva mencapai 10 hari. Berdasarkan kepadatan larva 40 ekor/liter, jumlah chlorella : rotifer : larva = 2.500.000: 250 : 1 pada awal pemeliharaan atau sebelum 10 hari setelah menetas, atau = 5.000.000 : 500:1 mulai hari ke 10 setelah menetas.
    3. Pakan buatan (artificial feed) diberikan apabila jumlah rotifera tidak mencukupi pada saat larva berumur lebih dari 10 hari (Lampiran VIII.2). Sedangkan penambahan Naupli artemia tidak mutlak diberikan tergantung dari kesediaan makanan alami yang ada.
    4. Perbandingan yang baik antara pakan alami dan pakan buatan bagi larva bandeng 1 : 1 dalam satuan jumlah partikel. Pakan buatan yang diberikan sebaiknya berukuran sesuai dengan bukaan mulut larva pada tiap tingkat umur dan mengandung protein sekitar 52%. Berupa. Pakan buatan komersial yang biasa diberikan untuk larva udang dapat digunakan sebagai pakan larva bandeng.
  11. Budidaya Chlorella
    Kepadatan chlorella yang dihasilkan harus mampu mendukung produksi larva yang dikehendaki dalam kaitan dengan ratio volume yang digunakan dan ketepatan waktu. Wadah pemeliharaan chlorella skala kecil menggunakan botol kaca/plastik yang tembus cahaya volume 3-10 liter yang berada dalam ruangan bersih dengan suhu 23-25 0 C, sedangkan untuk skala besar menggunkan wadah serat kaca volume 0,5-20 ton dan diletakkan di luar ruangan sehingga langsung dengan kepadatan ± 10 juta sel/m3. Panen chlorella dilakukan dengan cara memompa, dialirkan ke tangki-tangki pemeliharaan rotifera dan larva bandeng. Pompa yang digunakan sebaiknya pompa benam (submersible) untuk menjamin aliran yang sempurna. Pembuangan dan sebelumnya telah disiapkan wadah penampungan serta saringan yang bermata jaring 60-70 mikron, berukuran 40x40x50 cm, di bawah aliran tersebut. Rotifer yang tertampung pada saringan dipindahkan ke wadah lain dan dihitung kepadatanya per milimeter.
  12. Budidaya Rotifera.
    Budidaya rotifera skala besar (HL) sebaiknya dilakukan dengan cara panen harian yaitu sebagian hasil panen disisakan untuk bibit dalam budidaya berikutnya (daily partial harvest). Sedangkan dilakukan dengan cara panen penuh harian (batch harvest). Kepadatan awal bibit (inokulum) sebaiknya lebih dari 30 individu/ml dan jumlahnya disesuaikan dengan volume kultur, biasanya sepersepuluh dari volume wadah. Wadah pemeliharaan rotifer menggunakan tangki serat kaca volume 1-10 ton diletakkan terpisah jauh dari bak chrollela untuk mencegah kemungkinan mencemari kultur chlorella dan sebaiknya beratap untuk mengurangi intensitas cahaya matahari yang dapat mempercepat pertumbuhan chlorella. Keberhasilan budidaya rotifera berkaitan dengan ketersediaan chlorella atau Tetraselmis yang merupakan makanannya. Sebaiknya perbandingan jumlah chlorella dan rotifer berkisar 100.000 : 1 untuk mempertahankan kepadatan rotifer 100 individu/ml. Pada kasus-kasus tertentu perkembangan populasi rotifer dapat dipacu dengan penambahan air tawar sampai 23 ppt. Apalagi jumlah chlorella tidak mencukupi dapat digunakan ragi (yeast) pada dosis 30 mg/1.000.000 rotifer. Panen rotifer dilakukan dengan cara membuka saluran pembuangan dan sebelumnya telah disiapkan wadah penampungan serta jaringan yang bermata jaring 60-70 mikro berukuran 40x40x50 cm, di bawah aliran tersebut. Rotifer yang tertampung pada saringan dipindahkan ke wadah lain dan dihitung kepadatannya per milimeter. Pencatatan tentang perkembangan rotifer dilakukan secara teratur dan berkala serta data hasil pengamatan dicatat untuk mengetahui perkembangan populasi serta cermat dan untuk bahan pertimbangan pemeliharaan berikutnya.

6. PANEN

  1. Panen dan Distribusi Telur.
    Dengan memanfaatkan arus air dalam tangki pemijahan, telur yang telah dibuahi dapat dikumpulkan dalam bak penampungan telur berukuran 1x5,5x0,5 m yang dilengkapi saringan berukuran 40x40x50 cm, biasa disebut egg collector, yang ditempatkan di bawah ujung luar saluran pembuangan. Pemanenan telur dari bak penampungan dapat dilakukan dengan menggunakan plankton net berukuran mata 200-300 mikron dengan cara diserok. Telur yang terambil dipindahkan ke dalam akuarium volume 30-100 liter, diareasi selama 15-30 menit dan didesinfeksi dengan formalin 40 % pada dosis 10 ppm selama 10-15 menit sebelum diseleksi. Sortasi telur dilakukan dengan cara meningkatkan salinitas air sampai 40 ppt dan menghentikan aerasi. Telur yang baik terapung atau melayang dan yang tidak baik mengendap. Persentasi telur yang baik untuk pemeliharaan selanjutnya harus lebih dari 50 %. Kalau persentasi yang baik kurang dari 50 %, sebaiknya telur dibuang. Telur yang baik hasil sortasi dipindahkan kedalam pemeliharaan larva atau dipersiapkan untuk didistribusikan ke konsumen yang memerlukan dan masih berada pada jarak yang dapat dijangkau sebelum telur menetas ( ± 12 jam).
  2. Distribusi Telur.
    Pengangkutan telur dapat dilakukan secara tertutup menggunakan kantong plastik berukuran 40x60 cm, dengan ketebalan 0,05 – 0,08 mm yang diisi air dan oksigen murni dengan perbandingan volume 1:2 dan dipak dalam kotak styrofoam. Makin lama transportasi dilakukan disarankan makin banyak oksigen yang harus ditambahkan. Kepadatan maksimal untuk lama angkut 8 – 16 jam pada suhu air antara 20 – 25 0 C berkisar 7.500-10.000 butir/liter. Suhu air dapat dipertahankan tetap rendah dengan cara menempatkan es dalam kotak di luar kantong plastik. Pengangkutan sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mencegah telur menetas selama transportasi. Ditempat tujuan, sebelum kantong plastik pengangkut dibuka sebaiknya dilakukan penyamaan suhu air lainnya. Apabila kondisi air dalam kantong dan diluar kantong sama maka telur dapat segera dicurahkan ke luar.
  3. Panen dan Distribusi Nener.
    Pemanenen sebaiknya diawali dengan pengurangan volume air, dalam tangki benih kemudian diikuti dengan menggunakan alat panen yang dapat disesuaikan dengan ukuran nener, memenuhi persyaratan hygienis dan ekonomis. Serok yang digunakan untuk memanen benih harus dibuat dari bahan yang halus dan lunak berukuran mata jaring 0,05 mm (gambar XI.3) supaya tidak melukai nener. Nener tidak perlu diberi pakan sebelum dipanen untuk mencegah penumpukan metabolit yang dapat menghasilkan amoniak dan mengurangi oksigen terlarut secara nyata dalam wadah pengangkutan.
  4. Panen dan Distribusi Induk.
    Panen induk harus diperhatikan kondisi pasang surut air dalam kondisi air surut volume air tambak dikurangi, kemudian diikuti penangkapan dengan alat jaring yang disesuaikan ukuran induk, dilakukan oleh tenaga yang terampil serta cermat. Seser / serok penangkap sebaiknya berukuran mata jaring 1 cm agar tidak melukai induk. Pemindahan induk dari tambak harus menggunakan kantong plastik yang kuat, diberi oksigen serta suhu air dibuat rendah supaya induk tidak luka dan mengurangi stress. Pengangkutan induk dapat menggunakan kantong plastik, serat gelas ukuran 2 m 3 , oksigen murni selama distribusi. Kepadatan induk dalam wadah 10 ekor/m 3 tergantung lama transportasi. Suhu rendah antara 25 – 27 0 C dan salinitas rendah antara 10-15 ppt dapat mengurangi metabolisme dan stress akibat transportasi. Aklimatisasi induk setelah transportasi sangat dianjurkan untuk mempercepat kondisi induk pulih kembali.

7. ANALISA USAHA

Contoh Analisa Usaha Penbenihan Lengkap Bandeng. Modal yang Diperlukan (Data April 1993).

  1. Biaya Investasi.
    1. Tanah 1 Ha @ Rp 35.000,- Rp. 35.000.000,-
    2. Konstruksi :
      • 4 Bak Induk Vol. 100 Ton @ Rp 15.000,- Rp. 600.000,-
      • 20 Bak larva vol 5 ton @ Rp 750,- Rp. 15.000.000,-
      • 4 Bak plankton vol 5 ton @ Rp 750,- Rp. 3.000.000,-
      • 5 Bak plankton vol 20 ton @ Rp 2.000 Rp. 10.000.000,-
      • 4 Bak rotifera vol 5 @ Rp 750 Rp. 3.000.000,-
      • 20 Botol plankton vol 10 liter @ Rp 3.000,- Rp. 60.000,-
      • Bak bius vol 1 ton @ Rp 400,- Rp. 400.000,-
      • 2 Bak penampungan induk vol 3 ton @ Rp 750,- Rp. 1.500.000,-
      • 1 set alat lab. (mikroskop,timbangan,Induce,implamenter dll) Rp. 15.000.000,-
      • 1 unit Genset & Instalasi Rp. 25.000.000,-
      • 1 unit Pompa & instalasi Rp. 15.000.000,-
      • 1 unit Blower & instalasi Rp. 5.000.000,-
      • 1 unit AC Rp. 3.000.000,-
        Jumlah Biaya Investasi Rp. 206.000.000,-
    3. Prasarana Pokok.
      • Bangunan tempat pemeliharaan larva Rp. 20.000.000,-
      • Lab. Plankton (alga) Rp. 5.000.000,-
      • Rumah karyawan Rp. 25.000.000,-
      • Ruang panen Rp. 10.000.000,-
      • Ruang makan Rp. 10.000.000,-
      • Kantor Rp. 5.000.000,-
      • Rumah jaga Rp. 1.000.000,-
      • Rumah genset dan blower Rp. 1.000.000,-
      • Gudang Rp. 5.000.000,-
      • Refrigerator/Freezer Rp. 1.000.000,-
        Jumlah Biaya Sarana Pokok Rp. 83.000.000,-
        Jumlah Biaya Investasi (a+b+c) Rp. 288.000.000,-
  2. Biaya Operasional per tahun.
    1. Biaya tetap.
      • Biaya perawatan 5% dari investasi Rp. 14.448.000,-
      • Penyusutan 10% dari investasi Rp. 31.645.000,-
      • Bunga modal 15% tahun Rp. 43.344.000,-
      • Ijin usaha Rp. 2.000.000,-
        Jumlah biaya tetap Rp 106.000.000,-
    2. Biaya tidak tetap.
      • Pengadaan induk 50 ekor @ Rp. 300.000,- Rp. 15.000.000,-
      • Pakan, induk 3%x5x50x360x1.000 Rp. 2.700.000,-
      • Larva, pupuk Rp. 5.000.000,-
      • Hormon, bius, alkohol, formalin Rp. 15.000.000,-
      • BBM : solar; 10x4x360xRp.380 Rp. 32.000.000,-
      • Olie ; 8x4x12xRp 4.000,- Rp. 1.536.000,-
      • Gaji karyawan :
        • tenaga ahli 1x12x500 Rp. 6.000.000,-
        • pekerja 10x12x100 Rp. 12.000.000,-
      • Biaya tak terduga Rp. 10.000.000,-
        Jumlah biaya tidak tetap. Rp 100.068.000,-
        Jumlah total biaya operasional/tahun (a + b) Rp. 205.505.000,-
  3. Penerimaan per tahun.
    1. Produksi telur : 20 induk selama 6 bulan (20x300.000x6 bulan) = 36.000.000 butir telur.
    2. Tingkat kelangsungan hidup 20 %. 7.200.000 benih
    3. Harga jual/ekor Rp.20,- Rp. 144.000.000,-
    4. Jumlah penerimaan selama 1 tahun Rp 288.000.000,-
  4. Analisa Biaya dan Manfaat
    1. Penerimaan kotor (III-II) Rp. 82.495.000,-
    2. Pajak 10% dari penerimaan kotor Rp. 8.249.500,-
    3. Perputaran uang sebelum dipotong Pajak (IV,1 & II A2/ Penyusutan Rp. 114.140.000,-
    4. Pendapatan bersih= (IV.3-IV.2) Rp. 105.890.500,-
    5. Jangka waktu pengambilan modal Investasi =2,7 tahun
    6. Imbangan penerimaan biaya (R/C ratio)= 3) : 2) 1,4
    7. Biaya produksi per PL
      Total Biaya operasional = 205.505.00= Rp 13,70
      Pembelian induk 15.000.000

8. SUMBER

Pembenihan Bandeng, Direktorat Bina Pembenihan, Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta, 1994